Sabtu, 02 Oktober 2010

Sebuah Tarian dari Daerah Banyuwangi

       Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Setiap daerah memiliki beraneka ragam bahasa dan budaya yang beragam dan penuh dengan keunikan dimana di masing-masing daerah memiliki ciri khas dari budaya serta bahasa yang dimiliki dari daerah tersebut. Gandrung merupakan salah satu jenis tarian yang berasal dari  daerah di ujung timur pulau Jawa, tepatnya di daerah Banyuwangi. Pada tahun 1927 (sumber: Scholte), tari gandrung di mainkan oleh lanang (penari laki-laki) di mana para penari laki-laki tersebut memakai kostum penari layaknya seorang perempuan yang di iringi dengan dengan alat musik kendang, dimana kendang tersebut  pada masa itu merupakan instrumen utama pada tarian gandrung. Namun sekitar tahun 1950, tari gandrung yang di mainkan oleh para penari laki-laki yang memakai kostum perempuan ini mulai punah, kepunahan ini di duga karena adanya larangan dalam ajaran agama Islam yang melarang segala bentuk transvestisme ( berdandan seperti perempuan). Tari gandrung umumnya sering di pentaskan dalam berbagai acara, seperti pernikahan, khitanan, tujuh belasan, di acara-acara resmi maupun acara tidak resmi lainnya baik di wilayah Banyuwangi maupun di wilayah lainnya.

       Pada tahun 1969, penari gandrung perempuan berada pada  puncak kejayaannya. Penari pertama perempuan gandrung tersebut bernama Semi, dimana pada usia delapan tahun ia pernah jatuh sakit dan segala upaya telah di tempuh untuk kesembuhannya namun tidak kunjung berhasil hingga ibunya yang bernama Midhah bernazar " Kadhung sira waras, sun dhadekaken seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).  Namun ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh penari perempuan dan  Semi kecil  mulai belajar menari sejak usianya beranjak sepuluh tahun. Kesenian ini pun  terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat.

       Adapun beberapa tahapan dalam pelaksanaan tarian gandrung, diantaranya jejer, maju (ngibing) dan seblang subuh. Jejer merupakan tahapan awal dimana pada bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukkan gandrung. Pada tahapan ini, penari gandrung menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu dan para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan. Maju (ngibing) merupakan tahapan dimana penari gandrung mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Umumnya tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama dengan penari gandrung. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu. Setelah selesai, si penari akan mendatangi rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repen (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Namun kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi. Pada tahapan ini penari gandrung di tuntut untuk ramah terhadap tamu dan tidak boleh pilih kasih. Setelah tahapan ini selesai, tarian gandrung memasuki tahapan yang ketiga, yakni seblang subuh. Tahapan ini merupakan tahapan yang terakhir dan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan pada tarian  gandrung Banyuwangi. Pada tahapan ini, dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas  sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti lagu seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan tahapan (ritual) seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Namun pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini merupakan penutup dari suatu pertunjukkan pentas gandrung. Tarian gandrung umumnya dimulai sejak pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

       Busana yang dipakai pada tarian gandrung ini memiliki khas tersendiri dimana pada bagian tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya dan selendang selalu dikenakan di bahu. Adapun pada bagian kepala penari gandrung dipasangi hiasan serupa mahkota yang biasa disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Bima yang berupa kepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Namun setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena (Bima) ini kemudian dilekatkan pada omprok yang selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga (cundhuk mentul) di atasnya dan pada bagian omprok ini juga dipasang hio yang memberi kesan magis. Pada kostum bagian bawah, penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam dan corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi yang disebut gajah oling dan penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

       Pada masa globalisasi seperti sekarang ini, hanya sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang mengenal kebudayaan khas Banyuwangi ini, hal ini di karenakan umumnya masyarakat Indonesia kurang dapat memfiltrasi budaya yang masuk dari luar umumnya para remaja sehingga mereka secara tidak langsung menbudayakan budaya-budaya yang masuk dari luar dan melupakan (bertindak acuh tak acuh) terhadap berbagai budaya yang dimiliki bangsa Indonesia ini, dimana salah satunya merupakan tari gandrung. Di karenakan menurunnya minat apresiasi masyarakat untuk menjadi penari gandrung khususnya di wilayah Banyuwangi, saai ini pemerintah kabupaten Banyuwangi  mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi dengan harapan tari gandrung masih diminati masyarakat khususnya kawula muda. Hal ini merupakan hal positif guna membudidayakan tarian khas Banyuwangi ini agar tidak kehilangan komunitasnya yang merupakan aspek terpenting agar tidak punahnya tarian ini, dimana komunitas tersebut berperan layaknya udara tempat seni ini bernafas.



sumber referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi